Saturday, August 1, 2015

0 AGENDA/ JADWAL MAIYAH BULAN AGUSTUS 2015

Agenda Maiyah bulan Agustus 2015


Jadwal Maiyah
Berikut ini agenda/ jadwal maiyah bulan agustus 2015:
  • Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng #MaiyahPati| 1 Agustus 2015, 08:00 WIB | Koperasi Bhakti Group, Jl. Juwana Tayu Km 7, Sambilawang, Trangkil, Pati.
  •  Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | 02 Agustus 2015 | 19:00 | Hal. Masjid Jami' Al-Wustho, JL. Kudus-Colo km. 10, Piji, Dawe Kudus, Jateng
  • Sinau Bareng Cak Nun, 03 Agustus 2015 | 09:00, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Jl. Jend. Sudirman No. 30 Serang, Banten
  • Majlis Masyarakat Maiyah: Juguran Syafaat | 07 Agustus 2015 20:00 | Pendopo Wabup Banyumas, Jl. Jend. Soedirman, Purwokerto, Jateng
  • Majlis Masyarakat Maiyah: Kenduri Cinta | 14 Agustus 2015 | 20:00 | Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73 Jakarta, DKI Jakarta
  • Majlis Masyarakat Maiyah: Mocopat Syafaat | 17 Agustus 2015 | 20:00 | TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
  • Majlis Masyarakat Maiyah: Gambang Syafaat | 25 Agustus 2015 | 20:00 | Komp. Masjid Baiturrahman, Jl. Pandanaran No. 126 Simpanglima, Semarang, Jateng
  • Majlis Masyarakat Maiyah: Padhangmbulan | 28 Agustus 2015 | 20:00 | Menturo, Sumobito, Jombang, Jatim
  • Majlis Masyarakat Maiyah: Bangbang Wetan | 29 Agustus 2015 20:00 | Balai Pemuda, Jl. Gubernur Suryo No. 15, Surabaya, Jatim
NB. Jadwal Maiyah Bisa berubah sewaktu-waktu, akan di update selanjutnya di facebook maiyah.
INFO Maiyah lainnya: http://mocopatsyafaat.blogspot.com/

Monday, March 2, 2015

0 Agenda/ Jadwal Maiyah Bulan Maret 2015

Agenda/ Jadwal Maiyah Bulan Maret 2015



[INFO] Agenda Maiyah Bulan Maret 2015:
•> Majlis Masyarakat Maiyah: PadhangmBulan | 5 Maret 2015, 19:00 WIB | Menturo, Sumobito, Jombang

Monday, November 10, 2014

0 Agenda/ Jadwal Maiyah Bulan November 2014

Agenda Maiyah Bulan November 2014

http://mocopatsyafaat.blogspot.com/2014/11/agenda-jadwal-maiyah-bulan-november-2014.html


  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | "Life in Harmony" dalam rangka Syukuran Desa | 6 Nopember 2014, 20:00 WIB | Lapangan Srunen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman.
  • Majelis Masyarakat Maiyah: PADHANGMBULAN | 7 November 2014, 19:00 WIB | Menturo Sumobito Jombang.
  • Majelis Masyarakat Maiyah: BANGBANGWETAN | 8 November 2014, 20:00 WIB | Balai Pemuda, Surabaya
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | Dalam rangka peringatan 50th Universitas Jember | 10 November 2014, 20:00 WIB | Lapangan parkir Gedung Sutardjo Jalan Kalimantan No 37, Jember.
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | "Syukuran Muharroman Warga Ngloroh" | 12 November 2014, 20:00 WIB | Desa Ngloroh, kec. Saptosari, Gunung kidul.
  • Majelis Masyarakat Maiyah: KENDURI CINTA | 14 November 2014, 20.00 WIB | Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
  • Majelis Masyarakat Maiyah: JUGURAN SYAFAAT | 15 November 2014, 19:00 WIB | Pendopo Wabup Banyumas (Pendopo ex-Kotatip Purwokerto), Jl. Jend. Soedirman Purwokerto.
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | Dalam Rangka Milad FORSIB (Forum Silaturahmi Insan Bank) ke 5 "Membangun Ukhuwah Meningkatkan Kepedulian Bersama" | 16 November 2014, 8:00 WIB | Lapangan Parkir Gedung Bank Indonesia, jl Pahlawan No. 105, Surabaya.
  • Majelis Masyarakat Maiyah: MOCOPAT SYAFAAT | 17 November 2014, 20:00 WIB | Kompleks TKIT Alhamdulillah, Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta.
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | Dalam Rangka Gebyar Museum 2014 | 18 November 2014, 19:30 WIB | Pelataran Dalam Monumen Jogja Kembali, Yogyakarta.
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | 22 November 2014, 19:30 WIB | Pelataran Terminal Muntilan.
  • Majelis Masyarakat Maiyah: GAMBANG SYAFAAT | 25 November 2014, 19:00 WIB | Masjid Baiturrahman Simpang Lima, Semarang.
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng 27 November 2014, 19:00 WIB | Dalam Rangka Lustrum ke VI SMA 1 Jetis (HUT 30 Tahun) | Lapangan Sekolah, SMA 1 Jetis, Bantul.
  • Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng | Dalam Rangka Hari Jadi Tuban ke 721 | 29 November 2014, 19:00 WIB | Alun-alun Kota Tuban.

Wednesday, May 28, 2014

2 Walisongo dan Teladan Sukses Berdakwah

Walisongo & Teladan Sukses Berdakwah


Walisongo dan Teladan Sukses Berdakwah


Walisongo & Teladan Sukses Berdakwah, Walisongo artinya 9 wali, walisongo dikenal sebagai penyebar agama islam di indonesia. Dakwah walisongo relatif cepat diterima oleh masyarakat, walisongo datang bukan sebagai pedagang tetapi sebagai golongan brahmana (guru-guru). Penyebaran islam oleh para wali dilakukan secara damai (tanpa konflik), bukan seperti di Indonesia yang sekarang ini yang menurut saya keras dan berdakwah dengan cara menakut-nakuti orang dengan menyertakan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan konteksnya. Islam dan Indonesia dapat bertahan sampai sekarang karena peran para wali. Dakwah Islam yang dilakukan Walisongo yang sukses mengajarkan Islam secara damai ke bumi Nusantara serta peran membangun peradaban kehidupan negeri Indonesia hingga dapat bertahan sampai kini.

Cara berdakwah walisongo sampai sekarang masih dipakai dibeberapa tempat dan pondok pesantren. Cak nun merupakan salah satu orang yang berdakwah seperti yang dilakukan walisongo dalam kegiatan maiyah, yang merangkul semua kalangan baik islam maupun yang belum islam untuk rukun bersama. Dakwah yang dilakukan menyesuaikan dengan karakteristik budaya setempat, sehingga dapat diterima di semua kalangan. Dibeberapa pesantren juga menerapkan dakwah yang sama. karena perlu pengembangan dakwah yang sesuai dengan Ahlussunnah wal jamaah, Walisongo, Indonesia Mercusuar Dunia. 

Kondisi masyarakat indonesia saat ini sangat memprihatinkan, kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang memerlukan teladan dalam melakukan dakwah Islam karena dekadensi moral. Masyarakat saat ini lebih mementingkan aqidah pribadi dan tidak mementingkan akhlak (moralnya), karena mereka diajarkan seperti kondisi masyarakat mekah pada zaman nabi, padahal indonesia (jawa) sudah lebih tinggi peradaban dan kekeluargaannya dan akan lebih cocok dengan ajaran islamnya di madinah pada zaman nabi. Dengan diajarkan ajaran yang tidak sesuai kondisinya maka kekeluargaan (moral) seseorang akan luntur dan akan lebih mementingkan diri sendiri. keaadan ini didukung oleh beberapa ajaran islam yang berkembang pesat saat ini islam yang cenderung tekstual, dan memunculkan banyak konflik dimasyarakat. Karena cenderung tekstual, maka munculah arabisasi budaya bukan islamisasi budaya. Sekarang ini teks arab sama dengan islam, karena masyarakat saat ini berfikir tekstual. Untuk itu dibutuhkan dakwah yang bukan tekstual tetapi inti ajarannya yang disampaikan dengan tidak membuang nilai budaya setempat. Karena budaya bukan agama yang sekarang ini disalah artikan sehingga budaya arab adalah islam. seperti yang dikatakan almarhum gus dur.

Karena perkembangan zaman saat ini, di tengah kedinamisan peri kehidupan bangsa Indonesia termasuk di dalamnya perkembangan internet & smartphone, media televisi, dan media sosial. dimana setiap orang memegang hp yang bisa digunakan untuk internet facebook, twitter, google dll. Dakwah islam saat ini bisa dilakukan melalui media online baik media sosial maupun website, media TV, youtube dan lain-lain. Karena masyarakat saat ini lebih suka membaca lewat hp daripada membaca lewat buku ataupun kitab dan dimanapun mereka bisa membukanya.

Negara-negara Jazirah Arab dan Afrika yang mayoritas beragama Islam namun mengalami kegoncangan kemanusiaan, untuk itu perlu  dakwah Islam khas Nusantara seperti yang dilakukan walisongo. Indonesia khususnya jawa memiliki kebudayaan yang tinggi sesuai perilaku nabi walaupun islam belum masuk di indonesia. Indonesia sesungguhnya sangat cocok dengan karakteristik islam yang diajarkan nabi Muhammad SAW. Sedangkan dinegara lain contohnya di arab, budaya mereka adalah orang keras, dan budaya merekalah yang seburuk-buruknya budaya sehingga nabi dibutuhkan disana. Untuk itu perlu orang jawa yang budayanya lebih dekat seperti perilaku nabi untuk melakukan dakwah disana seperti yang dilakukan walisongo dengan akulturasi budaya dengan ajaran islam, sehingga islam dapat berkembang di arab dan negara lain sesuai yang diajarkan nabi. karena penafsiran secara tekstual dapat menyebabkan konflik sosial karena perlu pemahaman yang lebih terhadap ayat dan hadits nabi.

Dakwah Walisongo perlu dilakukan di indonesia dan bisa juga dilakukan di semua negara, keteladanan walisongolah yang diperlukan untuk saat ini karena pemahaman yang berkembang yang tekstual yang membuat konflik sosial. Sehingga perlu dakwah yang sesuai Ahlussunnah wal jamaah, Walisongo, Indonesia Mercusuar Dunia

 Walisongo dan Teladan Sukses Berdakwah

Monday, December 23, 2013

0 Maiyah - Presiden by Emha Ainun Nadjib

Presiden by Emha Ainun Nadjib

========================================================================
Maiyah, Presiden by Emha Ainun Nadjib di blog Maiyah ini diposting oleh Horiq Sobarqah 23 Desember 2012. ( 5.0 )

http://mocopatsyafaat.blogspot.com/2013/12/maiyah-presiden-by-emha-ainun-nadjib.html
Maiyah - Presiden by Emha Ainun Nadjib, Presiden kita berikutnya jangan asal Presiden. Pemimpin nasional kita sebentar lagi jangan sembarang pemimpin. Lebih selamat kalau rakyat mencari pemimpin, bukan menunggu orang-orang yang menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan kalau bisa mulai belajar untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian membiarkan dirinya dipimpin oleh “pemimpin setoran” dari perusahaan-perusahaan politik. Apalagi kalau yang setor adalah parpol. Sebab Parpol tidak punya keperluan terhadap pemimpin sejati. Ekspertasi parpol adalah mencari laba, fokusnya dalam hal kepemimpinan adalah tawar menawar dan mengambil mana yang paling menguntungkan perusahaannya.

Kalau konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan rakyat mencari pemimpin sendiri, berarti undang-undangnya dibikin tidak berlandaskan kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi dan jiwa kasih sayang kepada rakyat.

Saya tidak percaya bangsa Indonesia memang hobi masuk ranjau, sehingga menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari ranjau-ranjau baru. Mungkin karena penderitaan dan ketertindasan sudah menjadi narkoba psikologi dan budaya mereka.

Usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 27,5 tahun. Anak-anak muda adalah penduduk mayoritas. Mereka sangat potensial untuk tidak mempermudah jalan bagi siapapun untuk menjadi Presiden. Kriteria dan syarat-rukunnya wajib dilipat-gandakan dibanding presiden-presiden sebelumnya. Ini Negara besar dengan problema sangat besar. Ini bangsa besar dengan ujian yang luar biasa besar. Ini tanah air kaya raya dengan kesembronoan pengelolaan yang sangat melampaui batas. Ini kepulauan raksasa dihuni oleh manusia-manusia spesifik, prolifik dan multi-talent, namun sedang berada di titik nadir ketidakpercayaan diri. Ini Garuda, sedang mabuk jadi Emprit.

Calon pemimpin tidak sekedar diuji integritas moralnya, kematangan proffesionalnya, kredibilitas ekspertasinya, visi masa depannya, akurasinya dalam menemukan segala sesuatu yang bermanfaat bagi rakyatnya, keberaniannya mengambil resiko pribadi untuk keperluan rakyatnya, serta berbagai parameter lainnya yang dikenal oleh pemikiran kenegaraan modern.

Kalau pakai common-sense, Presiden dan Pemerintah memiliki mental berani tidak makan sebelum rakyatnya kenyang. Ibarat kepala keluarga, kalau ada kenduri, ia makan terakhir. Kalau ada kebakaran, semua anggota keluarga ia upayakan keluar rumah duluan. Ibarat kantor, Presiden adalah karyawan rakyat yang datang paling awal dan pulang paling akhir. Presiden siap menjadi orang paling sedih dibanding semua orang.

Atau ambil wacana dari Agama: Presiden adalah orang yang paling berat hatinya melihat penderitaan rakyatnya, sementara ia tidak cengeng atas penderitaannya sendiri. Hatinya tidak tegaan kepada nasib orang banyak. Kalau Malaikat mendadak datang mencabut nyawanya, Presiden merintih: “Rakyatku… rakyatku… rakyatku…”, bukan “Ibu…istriku…anakku….”

Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom “manunggaling kawula lan Gusti”. Menyatunya hamba dengan Tuhan.

Bukan hamba adalah rakyat, Presiden adalah Tuhan. Itu pemahaman manipulatif untuk keperluan feodalisme budaya dan kekuasaan politik. “Manunggaling kawula lan Gusti” bukan rakyat harus mematuhi dan melaksanakan kehendak Presiden.

“Presiden” itu suatu idiom di dalam bingkai konsep kenegaraan modern yang mengacu pada ideologi demokrasi. Demokrasi menetapkan suatu kebenaran bahwa tanah air dan lembaga Negara adalah hak milik rakyat. Seseorang diangkat menjadi Presiden pada posisi dimandati, dipinjami atau diamanati sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan selama waktu tertentu. Maka tafsir feodal “menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam oleh pemikiran demokrasi untuk mengabsolutkan kekuasaan Presiden.

Mungkin sebagian Raja di masa lalu memperdaya rakyatnya dengan penafsiran yang disebarkan bahwa rakyat adalah “kawula” dan Raja adalah “Gusti”. Tetapi sejak Sunan Kalijaga di abad 14-16 M menginnovasikan penghadiran Semar di dalam peta kekuasaan Kerajaan-kerajaan yang dikenali masyarakat melalui Wayang, struktur hubungan vertikal hamba-Gusti rakyat-Raja direlatifkan oleh adanya Semar.

Semar adalah rakyat biasa, Ki Lurah Semar Bodronoyo di sebuah dusun bernama Karang Kedempel. Pada saat yang sama beliau adalah Panembahan Ismaya. Dewa yang posisinya sangat tinggi, paling senior, di atasnya Bathara Guru Presidennya Jagat Raya. Di atas Semar langsung adalah Sang Hyang Widhi (istilah Arabnya “Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (“Robbi”), yakni yang di segala zaman dikenal sebagai Tuhan itu sendiri dengan sebutan bermacam-macam.

Dengan adanya Semar struktur kedaulatan vertikal dilengkungkan menjadi bulatan. Kekuasaan itu siklikal. Semar ada di titik tertinggi di bawah Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat jelata. Dua titik itu satu, sehingga garis lurus vertikal itu menjadi bulatan. Sangat indah Sunan Kalijaga mendisain demokrasi.

Maka tafsir “manunggaling kawula lan Gusti” yang saya sebarkan beberapa tahun belakangan ini adalah bahwa di dalam diri seorang Presiden, “kawula” dengan “Gusti” itu “manunggal”. Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Di dalam dada dan kepala Presiden, rakyatnya dengan Tuhannya tidak bisa dipisahkan. Kalau Presiden menindas rakyatnya, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden mengkhianati Tuhannya, rakyat turut tertimpa kehancuran karena kemarahan Tuhan.

Isi kepala Presiden adalah kesibukan mesin penyejahteraan rakyat, isi dadanya adalah “rasa bersalah” karena belum maksimal bekerja, “rasa malu” karena belum berhasil seperti yang seharusnya, serta “kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.

Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambar-gambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan “aku yang baik” — yang maknanya adalah “selain aku tak ada yang baik”. Kata tukang-tukang becak di Yogya: “bisa rumangsa, ora rumangsa bisa”: sanggup merasa tak mampu, bukan mampu merasa “aku bisa”. Toh nanti rakyatnya akan memberi “raport” kepada setiap Presidennya ia bisa ataukah ber-bisa. Orang yang bilang “aku bisa” adalah orang yang tak percaya diri sehingga memompa-mompa dan membisa-bisakan diri.

Sebenarnya agak mengherankan bahwa, rakyat Jawa umpamanya, bisa sedemikian serius kehilangan kearifan lokalnya, setelah mereka terseret memasuki model aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin mereka. Seluruh cara orang-orang yang mencalonkan diri menjadi Presiden, Dewan Perwakilan, Gubernur, Bupati, Walikota hingga Lurah, tanpa terkecuali seluruhnya sangat menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang “rumangsa bisa”. Nuansa budaya pencalonan dengan modus “rumangsa bisa” itu dipastikan akan membuat semua orang lain yang berkwalitas “bisa rumangsa” akan minggir dari lapangan politik. Sehingga bisa dipastikan juga bahwa hampir mustahil rakyat akan memperoleh pemimpin yang sebagaimana mereka dambakan dari antara para pemamer wajah yang mutunya adalah “rumangsa bisa”.

Di Masjid dan Mushalla manapun tidak ada orang bodoh tak tahu diri yang berteriak “Ayo kalian berbaris makmum, saya yang paling pantas menjadi Imam shalat kalian”. Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin lahir dari apresiasi rakyatnya dan rakyat pulalah yang mendaulatnya menjadi pemimpin. Kiai dan Ustadz menjadi Kiai dan Ustadz karena ummat menemukan kesalehan mereka dan mengangkat mereka menjadi “Ki Hajar”, tempat semua orang merujukkan persoalan. Kiai dan ustadz tidak lahir dari pemilik modal dan pengarah acara televisi.

Kalau pakai filosofi klasik, manusia ada empat: (1) orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti, (2) orang yang mengerti tapi tak mengerti bahwa ia mengerti, (3) orang yang tak mengerti tapi ia mengerti bahwa ia tidak mengerti, kemudian (4) orang yang tidak mengerti dan tak mengerti bahwa ia tak mengerti — maka Presiden kita adalah manusia kategori pertama.

Kalau pakai peta akademis, (1) orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal, (2) orang yang tahu banyak tentang sedikit hal, (3) orang yang tahu sedikit tentang banyak hal, kemudian (4) orang yang tahu banyak tentang banyak hal – maka Presiden kita adalah manusia keempat.

Atau pakai pakai pendekatan “intel” : (1) ada sesuatu yang seseorang tahu dan masyarakat tahu, (2) ada sesuatu yang seseorang tahu tapi masyarakat tidak atau belum tahu, (3) ada sesuatu yang masyarakat tahu tapi seseorang itu tidak atau belum tahu, kemudian (4) ada sesuatu yang seseorang maupun masyarakat tidak atau belum tahu — maka yang keempat inilah Presiden kita nanti.

Ia bukan hanya Presiden suatu Negara, tapi juga pemimpin suatu masyarakat, guru suatu bangsa. Presiden berdiri sendirian memandang sesuatu yang semua orang dan ia sendiri belum tahu. Tugasnya sebagai Presiden adalah mencari tahu. Ia berdiri paling depan menembus kegelapan, untuk menemukan cahaya.

Presiden menjadi Presiden karena ia punya kesanggupan akal, stamina mental, keluasan hati, kesabaran rohani serta kekompakan frekwensi dengan seluruh unsur jagat raya — untuk membawa “oleh-oleh” kepada rakyatnya sesuatu yang sebelumnya rakyat belum tahu sehingga belum pernah merasakan. Salah satu hal yang Presiden perlu cari tahu adalah: untuk Indonesia yang hancur lebur sekarang ini, ia wajib berani mati, misalnya beberapa minggu atau bulan sesudah dilantik.

Presiden adalah orang yang paling berani bergerak meringsek masa depan yang gelap. Ia melindungi rakyatnya yang tidak tahu, ia berperang melawan ketidak-tahuannya, kemudian ia memenangkan peperangan itu dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang baru sama sekali, yang belum pernah ditemukan oleh siapapun sebelumnya. Presiden adalah “pengarep”, perintis, pelopor, ujung tombak sejarah, yang siap sirna ditelan resiko perjuangan dalam gelap mencari cahaya.

Presiden adalah pengambil keputusan pertama dan utama untuk melangkahkan kaki menapaki kegelapan. Sebab manusia itu hidup dulu baru mengerti, bukan mengerti dulu baru hidup.

Di bawah ubun-ubun kepala Presiden terdapat “chips” penerima dan pengolah cahaya. Daya serap dan daya olah cahaya itu mensifati pandangan matanya, pendengaran telinganya, struktur urat sarafnya, modulasi kuda-kuda jasad dan ruhaninya dengan “badan besar” alam semesta. Maka dari telapak tangannya memancar cahaya.

Dengan suluh cahaya telapak tangan ilmu itu ia menapaki kegelapan. Ya. Masa depan itu gelap. “Aku”, kata Tuhan, “memperjalankan hamba-hambaKu menembus kegelapan malam hari”. Hidup adalah malam hari, karena “sekarang” sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di “se”, tiba-tiba sudah “ka”. Dan tatkala engkau tiba di “ka”, “se” sudah masa silam yang “tiada”, sementara “rang” adalah masa depan yang engkau tak tahu apa-apa.

Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau meregang membesar, engkau paham kebesaran ruang, keluasan dan ketidak-terbatasannya tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda terbaik bagi setiap makhluk, apalagi manusia, adalah kerendahan hati. Itulah ‘kesadaran debu’.

Tak bisa kau tempuh gelapnya “rang” dengan modal “merasa bisa”. Hari siangpun gelap. Sebab matahari bukan benar-benar bercahaya sebagaimana yang ilmu memerlukan. Matahari hanya mengantarkan kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak tahu panennya, orang berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir tak tahu matinya. Pada interval antara diri mereka dengan titik ketidak-tahuan itu terdapat bentangan nasib, mungkin ada sejumlah Malaikat berseliweran, Dewa Nasib, makhluk distributor “pulung”, atau apapun namanya.

Mungkin itulah sebabnya Tuhan memberi tuntunan melalui salah satu sifat-Nya sendiri: kalau mau jadi Presiden, pertama sekali kamu harus “mempelajari kegaiban, dan menyaksikannya”. ‘Alimul-ghaibi was-syahadah. Kognitif dan empiris. Kegaiban yang paling utama adalah rahasia hati rakyatmu. Justru karena itu maka sesungguhnya cahaya itu terletak di kandungan hati nurani rakyatmu.

Sebagai Presiden kau menggenggam suluh cahaya. Kau tak punya kemungkinan lain pada posisi itu kecuali melimpah-limpahkan kasih sayangmu kepada rakyatmu. Engkau menjadi kabel yang dilewati arus listrik “Rahman”, cinta yang meluas, serta “Rahim”, cinta yang mendalam, sampai 12 tingkat frekwensi perjuangan kepresidenanmu. Atau sesekali tengok Ronggowarsito: pemimpinmu berikut ini adalah “Satria Pinandita Sinisihan Wahyu”. Pendekar ilmu dan managemen, yang hatinya sudah selesai dari nafsu keduniaan, dibimbing “pendaran-pendaran gelombang elektromagnetik” hidayah Tuhan di ubun-ubunnya.



 

Yogya 10 Oktober 2012
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Dimuat di Kolom Opini, Harian Kompas Edisi 13 Oktober 2012

artikel terkait:   http://www.caknun.com/2012/presiden/

Sunday, December 22, 2013

0 Maiyah - Dagelan Keindonesiaan Emha (Cak Nun)

Maiyah - Dagelan Keindonesiaan Emha

========================================================================
Maiyah, Dagelan Keindonesiaan Emha di blog Maiyah ini diposting oleh Horiq Sobarqah 22 Desember 2013. ( 5.0 )

http://mocopatsyafaat.blogspot.com/2013/12/maiyah-dagelan-keindonesiaan-emha-cak.html


Maiyah - Dagelan Keindonesiaan Emha - Jalan menulis bagi siapa pun ibarat kelokan bercabang dari sehampar cerita manusia. Seakan di pedalamannya tersimpan setangkup ”kitab kehidupan” yang terus berpendaran dan menggelitik untuk diamati dan dilacak, meski tak bakal pernah selesai. Selalu ada sisa di balik yang tersembunyi. Oase hening, tapi sayup-sayup dari kejauhan masih nyaring. Seberkas kenangan, dari ratusan tulisannya, yang kini semangat menulisnya itu terus berdetak.
Dialah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Saya selalu geringgingan, ketawa-ketiwi, dan berdecak saat membaca karya-karyanya yang terbit sekitar ‘80-an dan ‘90-an. Hingga sekarang, dia masih tetap menulis, meski sudah tidak begitu intens.

Barangkali ”Kitab Garing” atau lebih spesifik dunia menulis, bagi Cak Nun sudah selesai dalam tataran jika untuk sekadar ”mati-matian” dipertahankan sebagai jalan hidup. Dia pernah menulis esai, Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank di majalah Tempo, 28 Agustus 1982. Di situ dia berkata: Sastra barangkali hanya semacam Sekolah Rakyat yang ikut berproses, diproses, dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ”kekaburan”-nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.

Cak Nun barangkali telah melampaui dunia ”Kitab Garing” ini, dunia yang tampak dari perspektif lahiriah. Dan kini pada tahap ”Kitab Teles”: menguliti, menelusuri, atau berlelaku secara Ilahi dalam segala aspek kehidupan nyata. Ya, seperti penggalan sajak W.S. Rendra: Rasanya setelah mati berulangkali, tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini (Hai, Ma!). Tentu saja, bukan kematian berkali-kali pada diri Cak Nun. Namun, kesadarannya menyelami intisari keilahian hidup ini bagai berproses menjalani ‘’seribu kehidupan menuju Tuhan” sebagaimana nyanyian Simurgh dalam Mantiq al-Thair-nya Fariduddin Attar. Membagi kesadaran berislam dan berbangsa selama 13 tahun lalu bersama jamaah pengajian Padang Bulan di Menturo, Jombang. Pun jamaah Maiyyah di Kasihan, Bantul, Jogja.

Tak ada yang tidak fenomenal, bahkan subversif, dari cetusan pemikiran Cak Nun. Membaca ketidakpastian situasi Indonesia detik ini ibarat menonton dagelan yang bisa meledakkan tawa sekaligus kepahitan yang mendesak dada. Di sinilah Emha mengocok permenungan kita. Seperti getar air bah, lakonnya terus bergerak seiring perubahan waktu. Terbukti, penyair dan budayawan itu juga menyimpan empati yang tanpa henti terhadap nasib bangsanya yang remek dan mengalami kebangkrutan jati diri. Bak Kiai Slilit, Emha mengorek slilit sekisar keruwetan bangsa dengan analisis yang tajam, luwes, aktual-progresif, jernih, cemerlang, bebal, ngludruk, dan menohok, mulai soal kemiskinan sampai kebobrokan institusi-institusi pemerintah yang tak becus mengatur negara.

Kita bisa melongok buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Buku tersebut merupakan rekaman yang memuat 43 percikan permenungan Emha. Ada yang pendek, ada yang panjang. Dia mengulik problematik sosial dalam sejumlah esainya. Misalnya, Wong Cilik dan Dendam Rindu Jakarta; SDM Vs Manusia Indonesia Seutuhnya; Buruh Itu Kekasih; Kasih Sayang dan Reformasi Internal; Gunung Jangan Pula Meletus; dan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Tentu tak lepas dari karisma ketokohan Emha yang serba-empatik menyikapi problem umat dan kebangsaan, juga keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban lumpur Lapindo.

Dari tulisan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki itulah, Emha terus berikhtiar mengungkai watak kotor kesombongan manusia bangsa ini. Terkait dengan ketakaburan orang berkuasa, kesombongan orang kaya, kesombongan orang pandai, dan kesombongan orang saleh. Proposisi ini diawali dari identifikasi sederhana bahwa semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Sebab itu, rakyat adalah yang miskin, yang bodoh, dan yang selalu belum saleh. Rakyat akhirnya hanya dipandang sebagai organisme rapuh-lemah yang mesti diberdayakan dari ketertinggalan ekonomi, diselamatkan dari kemiskinan, dan dientaskan dari keterpurukan.

Bagi Cak Nun, ”Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan, setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan mengubah kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.” Karena itu, tegas Emha, siapa pun yang bertengger dalam struktur pemerintah negeri ini adalah Kiai Bejo, Kiai Untung atau Kiai Hoki. Mereka mendapatkan keuntungan meski tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.

Maka, dampak secara keseluruhan atas kondisi culas itu terasa sungguh memedihkan bagi wong cilik. Sebab, ”kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri secara berjamaah dengan modus-modus yang makin kasat mata. Namun, ‘ubet’ ekonomi rakyat, budaya ‘kaki lima’ yang cair dan longgar menciptakan semacam ‘pernapasan dalam’ yang membuat rakyat terus survive, meskipun tak ada suplai udara dari negara.”

Kepusparagaman tema dari kumpulan tulisan itu cukup inspiratif. Misal, isu santri sebagai agen teroris, SDM bangsa, buruh, ekspor ibu-ibu asuh, poligami, fundamentalisme, kriteria kepemimpinan, narkotika kebudayaan. Situasi bangsa yang karut-marut dan terempas seabrek bencana tak kunjung menyadarkan kita untuk berupaya memupuk tenggang rasa dan keprihatinan sosial. Generasi bangsa yang memimpin negara ini dilukiskan Emha seperti bocah ”Si Gundul Pacul” yang nakal pol, mblunat, mbetik, mbeling, cengengesan, sok benar, dan tak mau belajar. Kelakuannya seenak udelnya sendiri. Petentang-petenteng. Tak beres menjadi pemerintah. Risi berbuat kebajikan. Bisanya, membikin program kebaikan demi kesejahteraan perutnya sendiri. Ketika ribut memelototi bokong Inul yang ngebor pun goyangan Dewi Persik yang naudzubillah itu, juga riwayat santer si kanibal Sumanto, secara kualitatif, di situlah sebenarnya tampang asli rai-remek kita. Tapi, Sumanto hanyalah kanibal kelas teri. Dia cuma bernyali makan mayat. Itu pun mayat nenek-nenek yang dicolongnya dari kuburan. Sumanto tak berani makan rakyat sebagaimana yang dilakukan pengurus negara yang menguras dan nyesep habis kehidupan rakyatnya.

Apa yang terjadi dengan masyarakat kita yang sepintas terlihat teguh dan semarak beragama ini? Warga kita yang telanjur dikenal religius, juga aparatur pemimpinnya, kok bisa-bisanya ruwet mendefinisikan dan mensterilkan mental dan jati diri. Semuanya kok bertopeng. Memang dampak modernitas dan globalisasi berimbas pada cara berpikir kita yang cenderung berpola industrial alias instan. Kondisi masyarakat demikianlah yang diparabi Cak Nun sebagai ”Generasi Kempong”. Kita kelabakan digeruduk modernisme yang sejatinya ”hantu” sosial yang tersamar. Kebudayaan kita jadi instan. Minya instan. Lagunya juga instan. Sinetron dan filmnya instan. ”Kalau bisa,” gojek Emha, ”gak kerja tapi punya uang buanyak. Bahkan jika perlu, ndak usah ada Indonesia, ndak usah ada Nabi, ndak usah ada Tuhan juga ndak apa-apa, asal kurukan duit banyak.”

Daya gugah dan sentilan Cak Nun yang menerobos batas hingga ke wilayah persoalan-persoalan keseharian kita yang paling renik itulah yang jarang dibabah oleh kebanyakan tokoh kebudayaan kita. Dan, ini hanya soal ritme atau strategi budaya. Toh, dunia sastra, yang dilakoninya sejak awal, akan jadi biang narsis jika dijalani dengan methentheng di benteng ”menara gading”, mengumpulkan dan meracik ampas rohani yang tujuan akhirnya dapat menelurkan karya sastra yang adiluhung. Bagi Cak Nun, perkara berkarya mungkin tidak melulu melahirkan karya. Tapi, laku sosial dengan spirit punakawan ”Petruk si Kantong Bolong”: yang tak mengharap dapat apa dan menetaskan apa. Itulah yang lebih penting demi kemanfaatan manusia secara luas. Khairun nas anfauhum lin nas: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi manusia lain. (*)
...................................................................................................................
*) Fahrudin Nasrulloh bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

sumber:
http://www.facebook.com/notes/buletin-mocopat-syafaat/dagelan-keindonesiaan-emha/10150646626156739 
http://indonesiabuku.com/?p=7117

Saturday, December 21, 2013

0 Maiyah - Sisi Filosofis Yogyakarta

Maiyah - Sisi Filosofis Yogyakarta Menurut Cak Nun

========================================================================
Maiyah, Sisi Filosofis Yogyakarta Menurut Cak Nun di blog Maiyah ini diposting oleh Horiq Sobarqah 21 Desember 2013. ( 5.0 )

caknun, novia kolopaking, kyai kanjeng

Maiyah - Sisi Filosofis Yogyakarta Menurut Cak Nun, Budayawan Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, menggelar orasi budaya bersama kelompoknya, Kyai Kanjeng, dalam mengenang seabad Hamengku Buwono IX di Pergelaran Keraton Yogyakarta, Kamis malam, 12 April 2012. Pada orasi tersebut, budayawan yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ bersama komunitas seniman di kawasan Malioboro di masa silam itu kembali membeberkan bagaimana bangunan konsepsi kosmologi Keraton Yogyakarta hingga kini bisa menjadi sentra panutan kebudayaan bagi masyarakatnya. “Keraton itu bukan sekadar kerajaan, tapi ajaran yang memiliki konsep jelas, ’memayu hayuning bawono’,” kata suami Novia Kolopaking itu. Konsep yang selama ini diartikan sebagai suatu upaya dalam mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia melalui penciptaan keselarasan tatanan hidup antarsesama dan Tuhan.

Keselarasan tatanan yang dibangun Keraton Yogyakarta dicermati Cak Nun terwujud dalam banyak hal sederhana. Misalnya saja dalam pengaturan tata wilayah. Tatanan yang ada tak sekadar dibangun dengan mempertimbangkan aspek teknis yang tampak, tapi juga sarat mempertimbangkan aspek filosofis, khususnya kosmologi semesta, hubungan manusia-alam, manusia, dan Tuhannya. Cak Nun, Ayah dari vokalis band Letto itu mencontohkan, peletakan monumen Tugu Yogyakarta yang berusia tiga abad atau dibangun sekitar setahun setelah Keraton Yogyakarta berdiri. Posisi monumen yang berada di simpang Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro itu mempunyai makna filosofi.

“Itu sebagai pancang dasar sebelum Yogya mulai membangun peradaban,” kata dia. Tugu Yogyakarta berada pada garis linier yang jika ditarik ke utara akan bertemu dengan Gunung Merapi dan selatan ke Laut Selatan. Di tengah garis itu, Keraton Yogyakarta berdiri. Tak hanya itu, penamaan jalan pada garis linier antara monumen Tugu hingga Keraton Yogya pun diungkap Cak Nun sarat makna, meski sekarang telah berganti.

Misalnya saja, dari monumen Tugu hingga rel kereta api Stasiun Tugu, sebelumnya dinamai sebagai Jalan Margo Utomo (sekarang Jalan Mangkubumi). Artinya, dalam hidup, manusia harus paham ‘pagar’ utamanya. Yakni bisa membedakan mana hitam dan putih atau baik-buruk. Lalu jalan dari rel kereta api Tugu hingga Toko Batik Terang Bulan dinamai Jalan Malioboro. Nama Malioboro sendiri, lanjut Cak Nun, berasal dari kata mali (wali) dan ngumboro (menyebar, menjelajah). “Layaknya wali, manusia harus menyebar nilai-nilai kebaikan itu sejauh mungkin,” katanya.


Sumber Teks: PRIBADI WICAKSONO dalam TEMPO.CO




 

MAIYAH MOCOPAT SYAFAAT Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates