RAYYA, Cahaya Di Atas Cahaya
Film RAYYA, Cahaya Di Atas Cahaya, Film RAYYA, Cahaya Di Atas Cahaya di blog MAIYAH ini diposting oleh Horiq Sobarqah 22 JANUARI 2012. (  )
Film RAYYA, Cahaya Di Atas Cahaya, Seorang perempuan dewasa dan seorang lelaki dewasa – bukan  suami istri – berada di satu kamar hotel. Masing-masing sedang menderita  karena cinta terhadap pasangannya “dikhianati.”
Masyarakat pada umumnya boleh jadi berprasangka buruk, bahkan memberi  penilaian negatif, bahwa di antara kedua insan itu bakal terjadi adegan  pergumulan yang dilumuri libido seksualitas. Apalagi di luar kamar  hujan deras.
Warga masyarakat, baik anak baru gede maupun angkatan babe gue di  Indonesia, tidak boleh begitu saja disalahkan jika memiliki prasangka  seperti itu, utamanya karena sedemikian banyak informasi dari beragam  media: cetak, radio apalagi audio-visual, menyuguhkan perselingkuhan  dengan gamblang kapan dan di mana saja. Gosip, sensasi, pembunuhan  karakter menjadi hidangan yang diperjual-belikan, dipertontonkan, secara  murah. Bahkan dapat di-down-load gratis.
Rayya dan Arya berdialog panjang di kamar hotel itu tanpa  bersentuhan, bakal merontokkan prasangka buruk warga masyarakat.  Kalimat-kalimat yang mereka ucapkan bernas. Demikian pun yang mereka  berdua lakukan selama perjalanan dari Jakarta sampai Bali, dalam rangka  pemotretan untuk keperluan penulisan autobiografi Rayya, artis  multitalenta, diva, yang dengan jumawa bilang bahwa banyak lelaki yang  bersedia mencium kakinya.
Proses kreatif
Emha Ainun Nadjib, penulis skenario film RAYYA, Cahaya Di Atas  Cahaya, ini sebenarnya sedang menghidangkan potret-potret kehidupan  masyarakat, yang jarang disentuh oleh media massa apalagi oleh pejabat  pemerintah. Fakta aktualnya ada tapi lindap oleh besar dan banyaknya  jargon pembangunan. Manusia hanya dipandang dan diakui sebagai sumber  daya produksi, sehingga kehilangan hakekat diri pribadi. Pejabat  pemerintah sibuk dan terbius oleh program-program yang dirancang dan  dicanangkan atas nama rakyat, sementara rakyat hidup berjuang dengan  kekuatannya sendiri, termasuk merawat martabat sebagai manusia. Potret  yang berserakan dibingkai relasi perempuan dan lelaki – yang satu sama  lain saling belajar untuk menemukan jati diri.
Rayya (Titi Syuman) awalnya menyetujui penyusunan autobiografi maupun  tim pendukung baik penulis, disain busana, juru foto, juga penerbit,  yang sudah dibentuk. Dan siap kerja. Tanpa dinyana segalanya berantakan.  Biang masalahnya: Bram – pilot pesawat terbang, memilih menikahi gadis  lain – yang berarti memutuskan hubungan dengan Rayya. Sakit hati,  dendam, berkecamuk menjadikan “sang diva” ingin bunuh diri. Juru foto  profesional dilabrak dan diusir olehnya. Tentu saja tim kalangkabut  mencari pengganti. Hadirlah Arya (Tio Pakusadewo), sosok fotografer yang  menjuluki dirinya kampungan. Meski memiliki kemampuan handal  menggunakan digital automatik kamera, ia lebih memilih memakai kamera  yang masih menggunakan film celluloid. Di lain sisi ia juga bermasalah.  Istrinya selingkuh dengan lelaki lain. Namun ia mampu mengolah marah  sehingga tidak menjadi amarah.
Proses kreatif penggarapan film ini, terekam dalam behind the screen,  penuh dengan romantika. Seorang Tio Pakusadewo nyaris menyerah menapaki  tanjakan di gunung Ijen, namun ketika tahu ada kru yang gemuk berjuang  keras terus naik meski susah payah, apalagi menyaksikan para pekerja  penggali belerang, yang mengangkut dengan pikulan seberat 50 kilogram  naik turun gunung, semangatnya bangkit. Titi Syuman harus berjuang  menahan cuaca dingin sekitar 2 derajat, padahal ia mengenakan wardrop  karya Musa Widyatmoko yang terbuat dari bahan tipis. Banyak tantangan  dialami oleh kru artistik agar suting berlangsung lancar dan  menghasilkan gambar, suara, suasana yang meyakinkan. Sekitar 29 hari,  semua dijalani dengan sukacita, karena tak ada beda perlakuan terhadap  produser, pemain dan kru, yang jumlahnya hampir 100 orang. Misalnya,  meski sudah booking kamar hotel, namun lantaran khawatir ketinggalan  momen mentari terbit di ufuk Timur, terpaksa tidur di bus. Dan banyak  lagi pengalaman yang mengesankan. Termasuk mengedit stockshot yang  keseluruhannya ditaksir bisa membuat film durasi lima jam, dengan  berbagai pertimbangan digarapsajikan menjadi dua jam.
Local wisdom
Perjalanan ”njalajah desa milang kori” bintang dan juru foto dalam  film ini, pun nyaris jumbuh, sama dan sebangun dengan skenario, yang  sarat dengan dialog maupun momen-momen, yang menumbuhkan pemahaman lebih  dalam ihwal makna kehidupan. Cak Nun, begitu Emha akrab dipanggil,  dikenal sebagai budayawan yang pemikirannya multi dimensi, menuangkannya  ke dalam skenario lengkap dengan nuansa sastra dan teater, sehingga  terasa lain dari umumnya skenario. Viva Westi selaku sutradara, dibantu  tim artistik, justru merasa tertantang menghidupkan dialog menjadi  adegan yang diupayakan alamiah, baik ketika berbaur dengan warga  masyarakat maupun ketika suting dengan latar pemandangan alam - yang  eksotis.
Tentu saja bukan hal yang mudah. Apalagi kita tahu bahwa ada semacam  anggapan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa mencerna berbagai hal  yang :”berat” maksudnya sarat filosofi. Hal ini secara bijak dijawab  oleh Sabrang Mawa Damar Panuluh, yang menyatakan bahwa anggapan seperti  itu berarti menuding masyarakat Indonesia bodoh. Padahal yang terjadi  sebaliknya. Berbagai kebijaksanaan tradisi, local wisdom, justru  menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur masih dilaksanakan dalam kehidupan  sehari-hari.
Rayya, artis ternama yang hidup dalam gemerlap cahaya, glamour,  mengalami shock ketika melihat ibu-ibu, beberapa di antaranya dibantu  anak usia sekolah dasar - bekerja memecah batu menjadi kerikil demi  mempertahankan hidup. Pun para penari tradisi yang ngamen keliling kota.  Juga terkesan oleh pengabdian “Bu De” (Christine Hakim) meski  pendengarannya tak sempurna, namun ikhlas mendidik anak-anak untuk  mencintai lingkungan. Apalagi bertemu ibu tua penjual kerak – nasi  kering yang disangan dengan pasir. Harga dua bungkus plastik dua belas  ribu, Rayya memberinya uang lima puluh ribu. Si ibu tak punya uang  kembali, maka dengan enteng Rayya bilang “Lebihnya buat Ibu.” Ternyata,  bukannya senang, si ibu mengembalikan uang tersebut dan membatalkan  transaksi. “Saya ini berjualan, bukan mau mengemis..”
Budi pekerti adalah cahaya bathin, nurani, yang terangnya melebihi  perilaku glamour. Cahaya di atas cahaya. Ini memang film yang menggugah,  menyadarkan siapa pun untuk mensifati dan mensikapi kehidupan secara  luwes – bahkan ora usum, tidak terjebak arus, yang mewujud pada perilaku  arif bijaksana.
Pemeran Utama: Titi Syuman, Tio Pakusadewo
Skenario: Emha Ainun Nadjib & Viva Westi
Sutradara: Viva Westi
Proser Eksekutif: Bayu Priawan Djokosoetono
Produser: Dewi Umaya Rochman & Sabrang MDP
Penata Kamera: “Ipung“ Rahmat Syaiful
Tayang di Bioskop: 20 September 2012

 



0 comments:
Post a Comment