Togog selalu salah posisi sejarahnya, karena Tuannya tidak pernah mengakui dirinya raksasa, melainkan merasa yakin dirinya adalah satria halus luhur budi.
Togog telah membayarkan hampir seluruh hidup dan nasibnya, waktu, pikiran dan hartanya kepada proses kebenaran dan keadilan, namun di mata Tuannya maupun di anggapan banyak wong cilik teman-temannya sendiri ia adalah pencopet yang harus selalu diwaspadai.
Togog dilupakan oleh Tuan dan rekan-rekannya bahwa ia sesungguhnya adalah Dewa yang bisa dan berhak memiliki sangat banyak hal, yang toh hanya ia ambil sangat sedikit dari itu semua.
Togog diwajibkan menjadi pengemis compang camping. Kebersahajaan Togog dianggap sebagai kewajiban, padahal itu adalah kemurahan hatinya. Kemelaratan dan kesengsaraan Togog melegakan hati mereka.
Togog “ada” tidak ada bedanya dengan Togog “tidak ada”, demikian pada pandangan Tuan dan rekan-rekannya. Bagi Togog itu adalah kegagalan diri. “Ada” yang tidak ada bagi Togog adalah dosa, maka ia berupaya untuk “tidak ada” yang semoga ada.
Togog berjongkok, orang memandang pantatnya dan merasa yakin bahwa itu adalah wajahnya. Orang mengintip Togog dari lubang di antara dua jari jemarinya, dan orang itu yakin bahwa Togog lebih kecil dibanding lubang di antara dua jari jemarinya. Perut Togog menutupi pandangan orang terhadap rembulan, dan orang yakin bahwa badan Togog lebih besar dari rembulan.
Togog bilang daun, yang didengar orang adalah waru: maka Togog dipersalahkan. Togog bilang sinar, yang didengar orang adalah lampu: maka Togog dibodoh-bodohkan. Togog omong tembakau, orang melaporkan yang diomongkan Togog adalah cengkeh karena orang lebih menyukai cengkeh dibanding tembakau: maka Togog dihardik.
Togog semalaman tertidur di tepi kuburan, paginya tersiar berita bahwa semalam suntuk Togog menelusuri kebun, memanjat kelapa, mencuri mangga dan tapa kungkum di telaga, karena kabar yang semacam ini yang lebih terasa manis di telinga.
Togog adalah gerobak pengangkut palawija yang dipetiknya dari sawah antah berantah. Palawija itu sangat dibutuhkan oleh orang sekampung, tapi mereka lebih tertarik mengerubungi gerobaknya yang kusam dan peyot, sehingga Togog melemparkan kembali tumpukan palawija itu ke sawah si empunya.
Togog bermurah hati menyediakan makan gratis bagi sejumlah fakir di depan rumahnya tiap pagi dan sore. Pada suatu hari Togog sibuk mengobati sakitnya rombongan fakir yang lain di kampung sebelah sehingga lupa menyediakan makanan: maka Togog didemonstrasi dan dituduh penipu.
Togog disuruh oleh orang seantero pasar untuk hampir tiap hari berkeliling pasar sehingga orang sepasar mengenalnya: disimpulkan Togog berupaya agar dikenal oleh orang sepasar dengan cara berkeliling pasar.
Togog diperah susunya siang malam dan ia dilarang makan maupun minum. Togog diperintahkan untuk mengangkut barang-barang dan ia dilarang memelihara kesehatan. Togog dituntut menjadi tanaman padi di sawah di mana orang beramai-ramai menuai, dan Togog dilarang menanam padi.
Togog diwajibkan kerja di sebuah pulau sepanjang pagi, sepanjang siang harus kerja lagi di pulau lain, juga sepanjang sore dan malamnya harus bekerja di pulau demi pulau yang lain. Untuk berpindah dari pulau ke pulau lain Togog harus merangkak dan berenang.
Togog adalah sepiring nasi. Seribu orang meminta masing-masing sepiring nasi dari Togog. Seratus orang menggugat kenapa minta nasi kok tidak diberi roti, seratus lainnya mengancam: awas kalau Togog ikut-ikut makan!
Itu edisi pertama ketogogan Tolol, eh — ketololan Togog, yang menjadi sempurna justru sesudah ia membungkam mulutnya sendiri. Barangkali ada volunteer yang berkenan memborgol kaki dan tangannya yang masih bebas itu?
0 comments:
Post a Comment