Maiyah - Belajar Takeran Rahmatan lil ‘Alamin
========================================================================
Maiyah, Belajar Takeran Rahmatan lil ‘Alamin di blog Maiyah ini diposting oleh Horiq Sobarqah 4 Desember 2013. ( )
Maiyah - Belajar Takeran Rahmatan Lil ‘Alamin, “Kamu pikir Allah hanya membuat kehidupan yang begini saja, ada beribu-ribu lapis dimensi kehidupan dengan teater dan skema keaktoran yang bermacam-macam yang kamu tidak mengerti takarannya. Maka bekal orang hidup adalah rendah hati bahwa sangat banyak yang tidak kamu ketahui dibanding yang kamu tahu”–Emha Ainun Najib-
Forum Bangbang Wetan dengan tema “Takeran” ini dibuka Mas Amin sebagai moderator dengan memanggil teman-teman pengurus BangbangWetan, diantaranya Mas Agung Trilaksono, Mas Hari Widodo, Mas Rachman, untuk memberi review pengajian Padhang mBulan yang berlangsung malam sebelumnya. Dilanjutkan dengan memaparkan pengantar mengenai tema yang diangkat BangbangWetan malam ini, yaitu "Takeran". Menurut Mas Hari, “takeran” disini berasal dari kata "menakar". Dia mencontohkan akhir-akhir ini banyak kejadian seperti kerusuhan Lampung, kasus Syiah di Sampang, dan lain-lain itu dikarenakan kurang tepatnya kita menakar persoalan.
Sesuai tema tadi,Mas Rachmad, sebagai moderator sesi diskusi selanjutnya, melanjutkan forum ini dengan memanggil Mas Waldo, salah satu sahabat Cak Nun dari Bali yang berpenampilan penuh tato dan tindik, seluruh badannya dipenuhi gelang, anting, dan asesoris lain sehingga terkesan seperti kepala suku Indian, dengan rambut gimbalnya. Mas Rachmad mengajak semua jamaah untuk tidak hanya melihat Waldo dari sisi fisik saja. Bagi pola pikir mainstream, tentu ini adalah hal yang aneh. Bahkan mungkin tidak bisa disangkal bagi banyak orang, bisa dikatakan“haram” dengan mas Waldo berpenampilans seperti ini. Mas Rachmad mengajak kita, dengan bermaiyah, kita berusaha meniati apa saja untuk menimba ilmu darimanapun dan kita buktikan mas Weldo malam ini membalik anggapan bahwa takaran kita terhadap manusia terhormat biasanya mereka yang memakai Jas, berpakaian rapi, takaran manusia ahli surga adalah mereka yang selalu mengenakan surban, celana cingkrang, atau mereka yang mempunyai stempel hitam di dahinya.
Mas Waldo mengawali dengan, "Assalamualaikum..”yang kemudian mengajak Jamaah Maiyah untuk berpikir, “Coba pikirkan jika hidup tanpa nilai, biarkan ukuran nilai apa adanya. Kita pun sudah berlaku musyrik dalam hal bergaul, sebab kita bergaul dengan kepentingan. Shalat kita pun juga karena kepentingan. Berhala bukan musyrik. Musyrik itu perkara penilaian dan perbandingan. Manusia menjadi menderita karena terombang-ambing dengan kepentingan, sehingga nilai sesungguhnya telah hilang atau mati”, ujarnya.
Mas Waldo menguraikan bahwa kita semua kalau dilihat dari luar yang kelihatan hanya tubuh saja, padahal menurut mas Waldo, tubuh ini adalah sebuah kerajaan, yang tentu saja mempunyai Raja yang berkuasa. “Siapa raja penguasa yang berkuasa pada kerajaan kita, nafsumu atau ruhmu?”, tanya mas Waldo. “Anda tidur saya bangun, sedangkan anda bangunnya dalam mimpi, sehingga anda tidak bisa melihat saya bangun, tapi saya bisa melihat anda sedang tidur. Dan saya tidak bisa membangunkan anda tidur, apalagi kalau tidurnya itu sedang mimpi enak, kecuali kalau anda sudah mulai mimpi jelek, begitu anda sedang mimpi jelek, baru anda butuh seorang pembangun, seorang penggugah”.
Mas Waldo melanjutkan dengan pendapatnya mengenai perbedaan antara guru dan nabi. Tugas guru menurutnya adalah membangunkan orang-orang yang sudah seringkali mimpi buruk dalam hidupnya, bukan membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak atau mimpi enak. Sedangkan tugas nabi adalah memasuki kedalam mimpi orang-orang dan berkata “wahai manusia, kita semua masih dalam mimpi yang sementara, apapaun yang kamu dapatkan dalam mimpi akan sia-sia, sebab kebenaran hanya akan bisa kamu dapatkan kalau kamu sudah bangun. Dan bangun itulah akhirat, bangun itulah kenyataan yang sebenarnya”, jelas mas Waldo. Nah dari sini monggo kita periksa diri kita masing-masing apakah kita sudah bangun atau masih di dalam mimpi.
Menanggapi seorang yang bertanya mengenai ciuman tanpa kepentingan, mas Waldo merespon, kalau kita sedang berhadapan dengan telur, maka jangan lantas bayangkan ayam. “Kalau kita ingin menikmati apa saja, jauhkan dari nafsu, kepentingan itu wujud dari segala nafsu, orang yang hidup dalam nafsu tidak akan pernah bersyukur, dan tidak akan pernah bisa menikmati hidup apa adanya, kalau Anda belum paham ini mungkin masih perlu belajar 10 atau 100 tahun lagi. Untuk belajar kadang dibutuhkan cukup 2 menit saja, kadang 100 tahun pun belum tentu bisa, itu tergantung kita picek atau melek”, terang Mas Waldo.
Waktu Jeda, Mas Rachmad meminta mas Waldo untuk unjuk kebolehan vokalnya dengan berkolaborasi dengan group musikBananaTree, kali ini Mas Waldo melantunkan lagu Metallica yang berjudul Nothing Else Matter.
Pak Toto Rahardjo, salah satu narasumber Bangbangwetan malam ini memulai uraiannya, bahwa kita hidup dalam berbagai peradaban diantaranya peradaban hati, peradaban pikiran, peradaban perut, dan yang menguasai pertimbangan kita itu apa? Menurut pak Toto, problem kita sejak kecil sebenarnya, yang menjadi pertimbangan adalah materi, keserakahan ketidakpuasan, itulah kenapa banyak koruptor yang menawarkan diri menjadi pemimpin. Maiyah mecoba untuk melakukan pembelajaran yang lebih mendalam, tidak sekedar merespon situasi yang ada sekarang, karena kita tahu situasi yang terjadi sekarang adalah akibat dari penguasaan materi, semua dimaterikan, bahkan naik haji yang seharusnya bisa transendental pun malah jadi materi, bahkan Gusti Allah dijadikan materi. Pak Toto mengingatkan, dulu beliau pernah berkata bahwa orang maiyah wajib melakukan tafsir. Selama ini begitu kita mendengar tafsir, selalu kaitannya dengan Qur’an dan Hadist. Malam ini pak Toto mencabut pernyataan tersebut, karena menurut beliau, tafsir itu memilki tradisi, memiliki metode yang memang panjang. Jadi maiyah itu bukan tafsir, kecuali tafsir sehari-hari, sedangkan kalau untuk al-Qur’an dan hadist itu kita wajibnya adalah tadabbur, mengkaji dan merefleksikan. “Tafsir itu akan terkait dengan bahasa, ada metode yang harus dipertanggung jawabkan, dan mulai saat ini saya cabut pernyataan itu”, jelas Pak Toto yang sebelumnya juga mengakui telah melakukan diskusi menganai hal ini dengan Ustad Nursamad Kamba dan Cak Fuad.
Pak Toto melanjutkan, “Bahwa Cak Nun pernah menjelaskan mengenaiilmu katon, itu sebetulnya tingkatnya pada tataran materi, dan inilah yang mempengaruhi peradaban pikir kita, bahkan peradaban batin pun dipengaruhi oleh material. Maka ukuran-ukurannya pun materi, misal berbuat baik bisa hanya karena pertimbangan materi. Dalam keseharian kita sangat dipengaruhi oleh takeran materi. Untuk menjadi pemimpin harus punya duit, filosofi tidak penting, visi tidak penting. Karena kita meletakkan diri sebagai majelis ilmu maka apa yang dikatakan mas Waldo malam ini, pasti kita akan ambil sebagai pendalaman ilmu malam ini, misal tadi bilang siapa yang menguasai kerajaan tubuh kita, materi atau ruh kita? Ini adalah bahasa tingkat tinggi yang perlu kita dalami maknanya”, ungkap Pak Toto.
Cak Priyo Aljabar menceritakan pengalamannya bertemu dengan berbagai komunitas atau simpul Maiyah di berbagai daerah. Cak Priyo menceritakan bahwa komunitas Maiyah yang ditemuinya bermacam-macam, diantaranya Komunitas yang mendalami kesenian sastra dan musik, ada juga simpul Maiyah yang menekuni urusan“bedah langit” dengan wirid dan istighosah,yakni Komunitas Tunggal Karep Tuban, simpul Maiyah di lereng gunung Penanggungan, dan sebagainya. Dengan bermacam-macam karakter yang ada, Cak Priyo berpesan, “Ojok ngadili gae ukuranmu, sesama siswa dilarang mengisi raport teman, Waldo punya karakter seperti itu dengan berbagai caranya, ya itu Maiyah, melingkar tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah, tidak ada yang di depan belakang, rukun, semuanya sama. Kebersamaan ini yang sebetulnya ingin kita wujudkan” tegas Cak Priyo.
Selanjutnya Cak Priyo meminta group musik BananaTree untuk melantunkan lagu Bon Jovi terbaru yang berjudul Sewu Kutho, dengan aransemen bossanova disambut applaus Jamaah.
Tiba saatnya Cak Nun menyampaikan uraiannya dengan mengajak kita semua untuk mulai menakar apa saja yang kita peroleh dari diskusi malam ini. Cak Nun mulai menjelaskan mengenai kata Ngaji. Ngaji itu berasal dari kata aji, kemudian melahirkan 2 kata benda. yang satu “me-ngaji” yang kedua “men-kaji”. Kalau “meng-kaji” itu berarti dipersepsikan, ditaker, dianalisis, dihitung, dilakukan hipotesis, kemudian diambil kesimpulan. Sementara “me-Ngaji” tidak mengutamakan proses kognitif, proses deskriptif, perumusan, sistematika berpikir seperti halnya “meng-kaji”. “Meng-aji” itu fokus pada apa saja yang bisa meninggikan aji kita. Aji itu berasal dari kata Jawa, sedangkan kalau dalam bahasa Arab, bentuk dari kata Aji ini di bagi dua, yaitu derajat dan martabat. Derajat adalah “ajine wong urip nang ngarepe wong sing gae urip”, sedangkan Martabat adalah “Ajine wong urip di antara sesamanya".
Berbeda dengan pendapat Mas Waldo tadi, menurut Cak Nun orang hidup itu harus punya kepentingan. Kepentingan itu berasal dari kata 'penting', itu wajib. Jadi pertama, harus bisa dibedakan, dalam hidup ini yang penting mana yang tidak penting mana. Yang kedua, penting untuk siapa, lebih baik mana pentingmu sendiri atau pentingnya orang banyak. Yang mana yang dinomorsatukan. Kita balik ke wacana Maiyah kita dulu, bahwa bener itu ada 3 macam, benernya sendiri, benernya orang banyak, benernya yang sejati. Benernya sendiri melahirkan egosentrsime, melahirkan egoisme kalau sudah berada dalam struktur kekuasaan akan melahirkan monopoli, melahirkan nepotisme, korupsi, melahirkan “tahlilan di pesantren maupun di tempat kiai”. Cak Nun menjelaskan Idiom “Tahlilan”, “Pesantren” “Kiai” sekarang dipakai oleh koruptor untuk mengaburkan istilah yang sebenarnya. Para koruptor sudah menggunakan ideom yang lebih Islami. Kata “Tahlilan” yang dimaksud adalah meeting atau pertemuan, “pesantren” adalah dinas atau kementrian yang mengeluarkan proyek untuk dikorup, sementara “Kiai” adalah istilah untuk menyebut anggota DPR atau pejabat tertentu. Dengan cara seperti ini maka semakin mencairkan dan mengaburkan takeran komunikasi, sehingga ketika kata “Tahlilan” ini disadap oleh KPK misalnya, maka itu tidak akan menjadi fakta hukum.
Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat.
Cak Nun menguraikan bahwa ada takeran bahasa sastra, takeran bahasa hukum, bahasa budaya, bahasa diplomasi, yang bermacam-macam takerannya. Apa yang dikatakan mas Waldo tadi sebenarnya adalah takeran pencarian diri yang sifatnya sufistik, maka jangan dipahami secara akademis. Ada takeran yang sangat baik untuk kita pelajari yang didapatkan dari Maiyahan Merapi beberapa waktu yang lalu, yakni Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat. ini tinggal dielaborasi secara ilmu. Kita lihat saja kebanyakan kita menjadi orang Indonesia yang tidak pernah membawa Jawa-mu (Jawa bukan dalam pengertian suku, Red), disentron dijadikan ejekan, cenderung meninggalkan kearifan yang baik dari Jawa.
Cak Nun melanjutkan uraiannya dengan bertanya pada Jamaah, “Kamu tahu Abu Jahal?” Dia adalah paman sekaligus musuh Nabi. Kira-kira Dia itu menamakan dirinya sendiri seperti itu, apa orang Islam yang menyebut dirinya Abu jahal? Sekarang kalau aku menyebut diriku Abu Jahal itu baik apa tidak? Kalau aku memilih untuk merasa diriku buruk, itu apik ta elek? Kalau dalam bahasa jawa itu iso rumongso. Terus kalau aku ngarani awakku dewe koyok nabi, aku iku alim, sholeh, itu baik atau tidak? Jadi lebih baik mana, orang yang menyebut dirinya baik atau yang menyebut dirinya buruk?”, tanya Cak Nun, yang serentak dijawab jamaah dengan pilihan kedua. Nabi-nabi atau Rasul menyebut dirinya baik atau jelek? Semua Nabi menyebut dirinya dhalim, menyebut dirinya fakir. Nabi Muhammad hanya menyebut jabatan resmi dari Allah yakni sebagai utusan Allah, dan yang menyebut Nabi Muhammad itu nabi atau rasul itu tidak lain adalah Allah sendiri, tidak mungkin Nabi menyebut dirinya sebagai nabi.
Mas Weldo pernah menyampaikan kepada Cak Nun di acara Maiyahan Bali, bahwa dengan ia berpakaian dan berpenampilan seperti ini maka tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa ia punya kebaikan. “Kalau anda berpenampilan necis, memakai gamis, orang pasti akan berfikir bahwa ia orang alim, orang baik, tidak mungkin menipu, tidak mungkin manipulasi. Dan kalau ternyata orang yang berpakain sorban dan gamis yang indah itu ternyata bukan seperi disangka bahwa dia itu orang baik, maka yang terjadi adalah penipuan. Kalau aku menyebut diriku habib, sehingga orang menyangka sebagai keturunan Rasulullah itu kan merepotkan banyak orang, sehingga nanti akan banyak orang yang sibuk mencari, browsing di internet melacak silsilah saya, itu kan bikin repot. Makanya disini gak usah merepotkan, tinggal panggil Cak Nun saja sudah cukup, itu saja , tidak usah repot-repot dan itu tidak akan mengandung penipuan, kalau hanya panggilan Cak, itu kan sekedar keakraban biasa”, jelas Cak Nun disambut tepuk tangan jamaah.
“Makanya begitu sekarang ada yang menyebut saya lebih bahaya dari syiah, saya sangat berterima kasih. Orang yang menjahati kita adalah orang yang berjasa untuk mengambil kearifan diri kita untuk kita terapkan kepada orang yang menjahati kita itu. Jadi gak apa-apa, di Islam itu semua tidak ada masalah”, sambung Cak Nun. Bahkan Cak nun berharap, sekalian saja dianggap lebih berbahaya dari Iblis, karena sebenarnya Casting-nya Iblis sudah jelas dalam teater-nya Allah, tugasnya sudah jelas, dan kita tidak masalah dengan Iblis karena kita sudah punya takeran, Iblis juga punya takeran. Cak Nun menjelaskan bahwa rumusnya Iblis itu jelas, semua akan dirasuki, semua akan dimasuki ke dalam aliran darahnya kecuali orang yang ikhlas seperti Kanjeng Nabi.
Lebih dalam Cak Nun mengeksplorasi mas Waldo dengan menyebutnya sebagai monumen keyakinan. Mas Waldo membuktikan bahwa ia berani menanggung resiko yang sangat-sangat besar. Kita tidak tahu sholatnya bagaimana, jangan merasa menjadi petugas-nya Allah dengan menilai negatif terhadap penampilan mas Weldo. ”Sing nduwe iki sopo? Allah. Terus takeranmu dengan takeran Gusti Allah itu lebih tepat mana? Mau saingan sama Allah? padahal Allah itu punya takeran yang al-Lathief, sangat lembut. Kita kan materi yang kita lihat”
Tadi mas Waldo mengatakan, akherat itu kalau kita sudah bangun, Nabi itu tujuannya masuk dalam mimpinya orang. Dengan pernyataan tersebut Cak Nun berpesan bahwa itu jangan ditangkap sebagai nash, informasi resmi agama. Kalau dia mengatakan Nabi bertugas memasuki mimpi manusia, itu adalah bahasa rohani dan puisi dia, pahami bahasa puisi dan bahasa sastra. “Jamaah Maiyah itu sering bertemu saya melalui mimpi, hampir tiap hari mendaftar mimpi ketemu dengan disuruh begini, disuruh begitu, kalau kita terapkan pernyataan mas Weldo tadi berarti saya ini kan seorang Nabi?”, kata Cak Nun disambut tawa jamaah.
“Orang kok berhenti dan dipaku pada meteri, kamu pikir kalau orang sudah ruku’ sujud itu sudah dikatakan sembahyang? Kalau cuma pura-pura bagaimana? bagaimana caranya kamu bisa tahu dia itu sembahyang atau hanya pura-pura saja? Bisakah kamu menembus hatinya? Mengerti kamu niatnya? Lah kamu kok percaya kalau dia sembahyang atau tidak. Jadi letak takeran utama orang sholat itu bukan pada materi, meskipun tanda-tanda pengabdian kepada Allah antara lain melalaui fasilitas materi, tapi materi itu sendiri tidak bisa menjadi takeran”
Suatu ketika ada kiai dari Jawa Tengah, berkunjung dan sowan kepada Kiai Hamid Pasuruan, setelah sowan dan bermaksud pamit akan pulang, Kiai Hamid menitipkan salam ke kiai tadi untuk disampaikan kepada seorang gelandangan yang biasanya menempati perempatan di Pasar Kendal. Setelah pulang, Kiai tadi akhirnya bertemu dengan gelandangan yang dimaksud, disampaikanlah salam dari Kiai Hamid tadi. Kontan saja si gelandangan tadi langsung marah-marah dan berkata keras, “Hamid iku yo’opo, aku sengaja menyamar puluhan tahun kok, malah diumum-umumkan, kalau begitu caranya lebih baik aku mati saja”, saat itu juga orang yang biasa disebut “gelandangan” ini langsung mati ditempat seketika itu juga. Kesimpulannya, apakah ia disebut gelandangan atau bukan? Gelandangan itu kan perjanjian orang banyak mengenai suatu keadaan yang disebut gelandangan. Padahal ada banyak Waliyullah yang diperintah Allah untuk menyamar menjadi gelandangan.“Kamu pikir Allah membuat kehidupan yang begini saja, ada beribu-ribu lapis dimensi kehidupan dengan teater dan skema keaktoran yang bermacam-macam yang kamu tidak mengerti takarannya. Maka bekal orang hidup adalah rendah hati bahwa sangat banyak yang tidak kamu ketahui dibanding yang kamu tahu”, tegas Cak Nun.
Merespon pertanyaan dari salah seorang jamaah mengenai “ciuman tanpa kepentingan” yang sempat disampaikan diawal, Cak Nun menjelaskan, “Hidup yang penting itu apa, fisiknya, ruhnya, muatannya atau apa? Maka ketika Anda sudah tua, istri anda juga sudah menua, Anda sudah tidak mendapatkan estetika dan kecantikan seperti 20 atau 30 tahun yang lalu, terus kepentinganmu apa ketika engkau tidur bersama istrimu? Maka kamu jangan mengabdi kepada istrimu, kamu jangan mengabdi kepada suamimu, kalian berdua mengabdi pada Allah-Mu, ketika engkau menyetubuhi istrimu bilang Ya Allah aku menggauli istriku karena aku rindu kepadaMu, karena aku rindu kepadaMU, ini untuk-Mu ya Allah. Karena kepentingan kita adalah hanya untuk Allah. Semua bahagia dan deritaku di dunia hanya untukMu ya Allah, tidak ada enak tidak ada tidak enak, semua kita lakukan Lillahi ta’ala.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.., wes engko bengi praktekno”, canda Cak Nun langsung disambut gemuruh jamaah.
Melanjutkan pembahasan yang tadi bahwa apapun yang datangnya dari Arab itu harus digarap, diramu dengan kebudayaan Jawa, bukan berarti Islam yang dijawakan, tapi aplikasikan dengan ramuan budaya meskipun ibadah mahdohnya sama, tapi ibadah muamalah nya beda. Misal budaya menyambut tamu, memuliakan orang tua di Arab dengan di Jawa itu beda. Ketika kita menghormati tamu demi mentaati Islam, yang kita bawa kesini bukan arabnya, tapi inti dari menghormati tamu itu kita cari dengan kebudayaan kita sendiri. Yang terjadi selama ini Arab tidak digarap, langsung diterapkan begitu saja, ditelan tanpa diracik, yang pinter ngaji ngenyek yang gak pinter ngaji, yang gak pinter ngaji cari alasan lain untuk ngeyek yang pinter ngaji. Di daerah Jawa Tengah kebanyakan orang melantunkan “alkamdulillahi rabbil ngaalamiin...” dinyek sama orang yang dari Jawa Timur yang bisa melafalkan huruf “Ain” dengan baik. Bilal, salah seorang sahabat yang sangat dicintai Rasulullah karena begitu kuat imannya, ketika ia adzan dan melantunkan “asyhadualla ilaaha illallaah..”, ia tidak bisa mengucapkan huruf “Syin”, lidahnya hanya bisa mengucapkan huruf “Sin”. Sahabat Nabi protes dengan keadaan itu. Nabi menjawab secara diplomatis, bahwa “Sin”-nya Bilal itu “Syin”. Singkat namun tegas. Sebagaimana dulu pernah kita membahas mengenai bunyi atau suara kokok ayam. Bagi orang Jawa, kokok ayam disebut “kukuruyuk”, sementara “kukuruyuk”nya orang Sunda adalah “kokorongkong”, dan “kongkorongkong”-nya orang Madura adalah “Kukkurunnuk”.
Dengan cara diplomasi Rasulullah tadi, Cak Nun mengajak kita untuk mencari kearifan Rasulullah, kesantunannya, tingkat keilmuannya, silakan cari sebanyak-banyaknya, supaya kita mempunyai kearifan dan kesantunan, tidak gampang menghujat orang lain. Dulu ulama hanya berjumlah 9 orang yang kita kenal sebagai Walisongo, mengislamkan berjuta-juta orang. Sekarang Ulama-ulama pekerjaannya kebanyakan adalah mengeluarkan orang islam dari Islam. Kita lihat saat ini betapa seringnya ulama bilang “kafir itu”, “bid’ah itu”, “sesat itu, “halal darahnya itu”.
Mengenai fatwa “halal darahnya”, Cak Nun menanggapi secara retoris, kalau memang ada fatwa seperti itu sebaiknya segera bunuh saja, jika cuma sekedar berfatwa “halal darahnya” tapi tidak pernah dilaksanakan dengan membunuhnya, maka Allah akan Marah : "Kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (QS. Ash Shaff 61: 2-3).
"Maka kita mengharapkan dan merekomendasikan para Ulama yang memfatwkan kepada golongan orang-orang yang “halal darahnya” segeralah bunuh mereka, tak tunjukkan siapa saja yang halal darahnya itu, Kabeh kok dadi Gusti Allah”, sindir Cak Nun.
Disampaikan oleh Cak Nun, ada tingkatan-tingkatan “Takaran” yang harus diperhatikan :
- Tingkatan terendah yakni Walayathul Khowas, menyangkut dimensi pada wilayah fisik atau materi, atau bisa disebut ilmu katon.
- Diatas khowas, ada Walayatul Hifdzi, menyangkut ilmu katon namun tidak terlihat, seperti halnya RAM/memori. Kaitannya dengan masalah IT, komputer, teknologi digital, dsb.
- Walayatul Khoyal (hardware atau Khowas tadi dan Hifdz/software tadi disimulasikan, dianimasikan dengan khayalan imajinasi dan aspirasi otak dan rohani manusia. Industri atau kapitalisme mengabdi kepada Khowas/materi, termasuk juga wilayah Hifdzi, Wilayah Khoyal ternyata juga diabdian kepada khowas. Bahkan sekarang semua ke khowas, termasuk juga agama, Alqur’an, Kiai, Habib, Gus, semua mengabdi kepada khowas. Di tiga wilayah ini (Khowas, Hifdzi, Khoyal) kita sudah terbiasa kalah. Kebanyakan orang tidak punya kecenderungan untuk menguasai ditiga wilayah ini.
- Walayatul Fikr, wilayah filosofi dan pemikiran.
- Walayatul Fa'al, sebagai tingkatan paling atas/tertinggi.
Orang Jawa tidak mau dan tidak punya kecenderungan untuk berkecimpung ditiga wilayah ilmu katon ini, bagi orang Indonesia ilmu katon ini cuma dibuat mainan. Misal (untuk ilmu katon), “kamu kok pilih presiden SBY?” Bagi orang Indonesia memilih SBY itu bukan peristiwa politik. “Kamu kok mau disogok 50 ribu rupiah menjual kedaulatan untuk milih bupati yang nyogok kamu?" Orang Indonesia tidak bisa menjelaskan, tapi yang terjadi pada mereka adalah mereka bukan menjual kedaulatan, mereka dapat uang 50 ribu rupiah diterima, suruh mencoblos ya nyoblos, tidak ada urusannya sama kedaulatan. Orang Indonesia itu kedaulatan opo iku gak mikir, pancasila itu benar enggak yo babbah, negara Indonesia itu ada atau tidak ada itu podo ae, pemerintahnya siapa saja gak ono bedane, Presiden ganti sehari empat kali yo monggo. Jadi tidak ada perisiwa politik, orang indonesia tidak punya keseriusan disitu.
“Orang Indonesia adalah penghuni di wilayah tertinggi, Walayatul Fa’al, mereka menunujukkan kehebatan tidak didalam pertandingan, tapi menunjukkan kehebatan dalam kehidupan. Kita tidak hebat dalam pertandingan, karena kehebatan kita itu otomatis kita langsungkan dalam kehidupan. Mereka tidak pernah ikut pertandingan balap F1, tapi kalau mau beneran balapan, silakan datang kesini untuk nyopir Bus di Pantura dengan Bus Sumber Kencono kalau berani?”, tantang Cak Nun.
Kalau misalkan berlangsung perang secara resmi, kita tidak pernah bisa serius, tentara kita tidak punya peluru yang cukup untuk sekedar latihan. Tapi kalau tawur, siapa yang lebih berani dari kita? Kita adalah jagoannya. Dimana-mana tidak ada yang mempunyai budaya tawur seperti di negara kita, paling mentok tawur antara buruh melawan polisi. Kalau disini, sesama pengurus masjid, sesama Islam, sesama pelajar, sesama mahasiswa saja tawuran. “Tawur kan sahabat kita sehari-hari”, kata Cak Nun, “Anak SMA kok dilarang tawur, terus dikonkon lapo? Tawur adalah pertentangan yang tidak ditata. Apakah pertentangan antar Parpol itu tertata tidak secara ilmu dan sosiologi? Apakah pertentangan antara Anas dan SBY tertata tidak secara manajemen konstitusi kita? Sing gak tawur iku sopo? Semuanya tawur. Dalam beragama kita tawur, takarannya juga terkadang ngawur, dengan gampang menyesatkan orang lain”.
Ilmu yang diberlakukan di Indonesia itu adalah ilmunya orang-orang Amerika yang tidak punya pengalaman hidup seperti orang Indonesia, mereka tidak punya keberanian hidup sebagaimana keberanian orang-orang Indonesia. Mereka adalah orang yang tidak pernah hancur, sebagaimana kita hancur dan tidak hancur oleh kehancuran itu. Mereka adalah orang yang tidak berani kawin tanpa pekerjaan, sebagaimana anda kawin tanpa pekerjaan. Mereka tidak punya “bismillah” yang di Indonesia itu modal utama. Jadi Indonesia itu adalah champion of life. Kita itu penduduk dari Wilayatul Fa’al, berasal dari Fa’alul lima yurid, Allah itu Maha Bekerja, Maha Hidup dan Menghidupi, jadi orang indonesia adalah juara di dalam hidupnya. Kita bukan juara di turnamen-turnamen. Begitu juga ini acara Maiyahan seperti ini kan sebenarnya juara. Mana ada di seluruh dunia ada acara sampai jam 3 pagi, orang duduk tenang, ikhlas gembira. “Maka ini adalah intinya Indonesia, yang bahkan media koran-koran sekitar sini tidak kenal Anda. Karena Anda adalah Indonesianya Indonesia, yang paling Indonesia dari Indonesia, juara luar biasa”, tegas Cak Nun, “Kita ini juara dalam kehidupan, syaratnya satu, jangan mengungguli mereka, biarkan mereka merasa unggul, karena mereka memang tidak unggul, sehingga kita harus besarkan hatinya dengan berpura-pura menganggap mereka unggul. Anda melihat Indonesia yang harus anda tolong, harus Anda sayangi, Harus Anda besarkan hatinya, Anda yang akan memandu mereka, memimpin, menyelamatkan mereka semua”.
Takeran Ilmu Kesehatan
Hadir juga sebagai nara sumber malam ini adalah dr. Ananto, sebagai seorang dokter beliau menanggapi uraian tadi dengan mengatakan bahwa “takeran” dalam ilmu kedokteran itu disebut dosis, maka untuk tahu dosis dibutuhkan kajian yang cukup mendalam. Seperti halnya dosis 3x1 itu sebetulnya berlaku untuk orang yang berat badannya 60 kg. Untuk orang yang berat badannya diatas 60 kg dosisnya tentu beda lagi. “Karena tiap orang berbeda, maka saya harus berhati-hati dengan dosis/takeran di masa mendatang.Ternyata untuk raga pun butuh takaran yang pas. Dan setiap orang berbeda satu sama lain” jelas pak dokter.
Cak Nun menambahi apa yang disampaikan dr. Ananto tadi dan berharap nantinya akan ada hal yang perlu disalahkan atau dibenarkan. Dalam pemahaman post modern, sesudah memuncaknya ilmu pengetahuan termasuk ilmu kedokteran, filosofi dasar ilmu kesehatan bahwa dokter adalah setiap orang atas dirinya sendiri. Dokter secara resmi, adalah asisten setiap orang yang diminta konsultasi mengenai beberapa hal. Tapi yang menakar dirinya adalah setiap orang itu sendiri, karena dokter itu dzonni, menduga-duga pada setiap orang. Dia tidak qoth’i atau pasti. Menurut Cak Nun, yang bisa qoth’i adalah diri kita sendiri, minum obat perlu tidaknya hanya kita sendiri yang tahu. Kedokteran secara ilmu itu cuma sekian persen, sementara dzonni-nya mungkin lebih besar. Maka dokter harus punya kerendahan hati dan kejujuran pada pasiennya, dan itu sulit kalau kedokteran sudah menjadi bagian dari walayatul khowas, menjadi bagian dari materialisme yang melahirkan kapitalisme dan industri. “Kalau kesehatan sudah menjadi industri, maka dokter akan menjadi alat industri yang memperbanyak orang sakit sehingga pendapatannya meningkat. Itu tidak terjadi kalau kedokteran itu adalah urusan moral. Mengobati orang itu cinta kasih dan moralitas antar sesama manusia. Bahwa yang diobati akan beterima kasih, itu soal moral yang lain yang mengakibatkan penambahan ekonomi bagi si dokter”, jelas Cak Nun.
Cak Nun menceritakan, menurut dokter yang pernah memeriksanya, secara resmi sebenarnya Cak Nun telah terjangkit kolesterol tinggi. Cak Nun bertanya pada dr. Ananto, gejala kolesterol tinggi itu seperti apa? Dokter Ananto menjawab, orang dengan kolesterol tinggi itu biasanya mempunyai badan yang cepet capek, tidak fit, ada beberapa sedikit rasa nyeri. Cak Nun menanggapi, berarti kolesterolnya agak aneh, malah sehat bener, gak penah ngantuk, gak pernah capek, menempuh perjalanan naik bus 13 jam tidak ada masalah, hampir tiap malem Maiyahan sampai menjelang pagi tidak ada masalah. “Iki kolesterol cap opo ngene iki”, kata Cak Nun dengan nada heran. “Saya cuma ingin mengatakan kepada anda semua, Yuk kita menjadi dokter bagi diri sendiri. Jangan main-main dengan takerannya hidup, Allah memberi contoh air zam-zam. Air biasa tapi diperkenankan dan diperintah Allah untuk menyembuhkan orang yang meminumnya sesuai dengan yang diinginkannnya. Manusia khalifahnya, obat adalah karyawannya, meskipun juga jangan sampai ngawur. Tetep dalam takeran yang rasionalitas, dan anda harus rasional pada diri anda, tidak boleh ada sedikit aus pada dirimu, jangan sampai dirimu mengalami proses perapuhan, ini yang terjadi pada manusia modern. Jangan sampai rapuh, yang pertama rapuh pikiranmu, kalau sudah pikiranmu rapuh, maka rapuh juga hatimu, sel-selmu rapuh, adrenalinmu tidak muncul, semangat dan gairahmu tidak muncul, maka kamu akan mengalami perapuhan jasad”, jelas Cak Nun, “Pak dokter ini bener apa tidak?”, tanya cak Nun pada dr. Ananto, beliau menjawab, “Insya Allah benar Cak, sami’na waatho’na”.
Pak Toto Rahardjo merangkum semua yang dibahas dengan menambahkan catatan penting bahwa diluar takaran yang baik itu, selalu terjadi dominasi. Sejak dari tahap yang paling bawah, materi, memori imajinasi, tahap-tahap ini sangat didominasi oleh peradaban materi.
Di akhir pembahasan Cak Nun mengingatkan khusus untuk Jamaah Maiyah untuk setidaknya mengingat-ingat urutan judul tulisan beliau yang baru-baru ini muncul di media cetak, yakni secara berurutan : “Allah 2014”, “Nasionalisasi Indonesia”, “Presiden”, “Para Kekasih Iblis”, dan selanjutnya yang akan segera terbit adalah “Persemakmuran Nusantara”. Silakan dipikir sendiri, direnungkan, tidak perlu dibaca isinya secara keseluruhan, kenapa urut-urutannya bisa seperti itu, semoga bisa dipahami maksudnya.
Sebelum melantunkan sholawat bersama-sama, Cak Nun mengingatkan teman-teman yang beragama selain Islam, mohon percaya dan yakin untuk merasa aman kepada kita sebagai orang Islam, kalau kita melakukan ini, berarti ini adalah ekspresi dari ideologi rahmatal lil alamin, saling menyelamatkan satu sama lain, dan tidak saling menghakimi yang Allah sendiri punya hak menghakimi kita. Cak Nun mengutip pernyataan Gus Dur, bahwa “NU itu adalah Syiah tanpa Imamah". Jadi kalau ada yang khawatir akan ada eksport revolusi syiah di Indonesia itu, saya yakin itu tidak akan terjadi mergo wong Jowo tidak mungkin punya Imamah. Mesti imamme diapusi sama makmumnya, wong Jowo sanggup memimpin dirinya sendiri sehingga tidak perlu imamah seperti halnya di Iran, wong Jowo sangat mandiri.
Informasi kedua, bulan depan kita harapkan sudah bisa melahirkan satu tradisi baru tanpa menafikan tradisi yang sudah ada, yakni sholawat maulid untuk puji-pujian ulang tahun Kanjeng Nabi SAW. “Kita akan bikin sholawat Maulidin Nur, yang kita sholawati adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah makhluk Allah yang pertama, yang kemudian ditugasi Allah untuk menjadi A menjadi B, menjadi C, salah satu episodenya Nur ini ditugasi, dikasih casting untuk menjadi Muhammad bin Abdullah yang berlaku hanya 63 tahun. Padahal Allah menciptakan waktu sangat panjang, dan saat ini Rasulullah sedang bertugas di tempat lain, di planet lain, di galaksi lain, tidak sebagai Muhammad bin Abdullah, tapi dengan tata cara dan budaya di sana. Rasulullah tidak pernah berhenti bertugas, Rasulullah bukan meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal sebagaimana yang kita tahu.Yang dimaksud Rasullulah meninggal adalah berakhirnya penugasan Nur Muhammad sebagai Muhammad bin Abdullah dimuka bumi, setelah itu dan sebelumya, Rasulullah sudah dan akan bertugas di tempat lain karena Allah menciptakan alam semesta yang sangat luas dengan makhluk-Nya yang bermacam-macam. Makhluk yang diciptakan pertama kali adalah Nur Muhammad dan karena Allah bahagia menciptakan Nur Muhammad ini maka Allah kemudian menciptakan seluruh jagat raya alam semesta dan makhluk-makhluk berikutnya. Nanti mungkin akan ada perkembangan dunia sholawat yang luar biasa di Indonesia dan itu tidak dilakukan oleh masyarakat Islam di dunia manapun. Mudah-mudahan ini merupakan tanda bahwa umat Islam di Indonesia dititipi Allah kebangkitan Islam di masa yang akan datang. Kebangkitan Islam bukan kebangkitan yang menindas umat lain, tapi yang mengayomi umat lain ”Kita akan menciptkan tradisi sholawat Maulidun Nur, bukan untuk menyaingi siapa-siapa, ini Mamayu Hayuning Bawono, menambah keindahan Islam, manambah keindahan kehidupan.
Terakhir pesan Cak Nun, “Seluruh pembicaraan mengenai Takeran ini terletak pada fatwa utama Cak Fuad tadi malam di PadhangmBulan, bahwa Jamaah Miayah mulai hari ini mohon dengan sangat untuk lebih melakukan kehati-hatian dan pemikiran, penghitungan kembali ketika menyebut atau melakukan pemahaman terhadap sejumlah idiom atau istilah yang penting. Kalau kamu dengar kata kiai, pikirkan lagi, kiai itu apa, begitu juga kata ustadz silakan dipikir ulang ustadz itu harusnya bagaimana, siapa dia, tugasya apa, dari mana asal-usulnya, jangan gampang-gampang meng-ustadkan orang, jangan gampang-gampang tidak meng-ustadkan orang, begitu juga Gus, Kiai, Habib, Mursyid, Ulama, itu dipikir kembali. Kalau Cak tidak masalah. Tolong ambil jarak epistimologis dari setiap idiom-idiom yang saat ini sudah kehilangan takeran di masyarakat. Karena selama ini yang menciptakan takeran bukanlah orang yang berhak menciptakan takeran, misalnya siapa yang mengakui seseorang menjadi kiai atau bukan, seharusnya yang mengakui adalah umatnya. Siapakah yang mengijinkan seseorang menjadi imam, tidak lain adalah makmummya. Nah selama ini karena ada industrialisasi dan kapitalisme maka yang menentukan siapa ulama atau bukan itu bukan umat, tetapi pemerintah dan industri. Mudah-mudahan setelah pulang dari sini, anda bisa lebih cerdas, lebih santun, lebih lapang, sebisa mungkin hindari perdebatan, kalau perdebatan membawa manfaat silakan diteruskan, tapi kalau tidak hentikan saja”.
“Umur rata-rata orang Indonesia adalah seumuran anda, yakni 27,5 tahun, sehingga anda sebagai mayoritas penduduk Indonesia, dan anda adalah orang yang akan harus kerja keras setelah 2015, kerja keras dalam arti anda yang memimpin kematangan di Indonesia, yang akan menjadi tanah-tanah perdikan yang luar biasa makmurnya, membikin mercusuar untuk seluaruh dunia, dan Islamnya adalah Islam yang diidamkan-idamkan oleh semua manusia di dunia, adalah Islam yang diolah, digarap, dan diruwat oleh Islamnya Indonesia”.
Hasbnaaall wani’mal wakil, Ni’mal maula wani’man Nashiir.
artikel terkait : Belajar Takeran Rahmatan Lil ‘Alamin
Belajar Takeran Rahmatan Lil ‘Alamin
0 comments:
Post a Comment